Terbaru

19 Tahun, Saja

Written By Unknown on Minggu, 14 Juni 2015 | 21.12


Seperti biasa, tiga hari menjelang lebaran semua perantau akan pulang ke kampung halaman. Tidak terkecuali dengan diriku. Tahun pertama dan kedua, aku juga pulang kampung setelah kepergian ku ke kota batam untuk menuntut ilmu. Membayangkan bagaimana orang yang kucintai dan mencintaku menungguku di depan rumah. Rasanya terbayar letih dan lelah ku satu hari satu malam dalam perjalanan.

Rindu masakan Ibu dan aromanya yang membuatku semangkin ingin cepat sampai rumah. Jika boleh aku ingin mengambil alih kendali bus  lalu tancap gas sekencang-kencangnya agar cepat sampai. Tapi apadaya jangan kan membawa bus sebesar itu, membawa angkot saja dengan penumpangnya mungkin akan membuat ku bisa dilarikan kerumah sakit dan membayar uang tagihan untuk perawatan para penumpang. Keinginan yang tak masuk akal memang. Begitu lah aku, selalu memikirkan hal-hal yang tak bisa kulakukan. Membuang buang waktu saja.

Saat itu aku berada di bangku bus nomor dua dari belakang. Sambil merebahkan tubuhku, mataku tertarik dengan sebuah pemandangan diperjalanan ini. Seorang ayah yang menggendong putrinya yang sedang memakai seragam TK. Mungkin dia baru saja menjeput putrinya dari sekolah. Pemandagan yang entah mengapa membuat si penghuni mata keluar rumah. Saat itu aku langsung teringat dengan ayah yang menggendongku dipundaknya. Mungkin saat itu umur ku tiga atau empat  tahun.

Aku masih ingat saat aku menumpahkan dagangan seseorang yang sedang berjualan kacang ijo di pasar. Dengan sengaja kakiku menendang ember tempat kacang ijo itu dan tumpah berserakan. Semua mata tertuju padaku. Aku langsung menangis dan rasa takut melihat pandangan mereka yang seolah olah ingin memasukan ku kedalam karung lalu membuangya di Danau Toba. Hampir seperti itulah bagiku melihat tatapan mereka dulu. Lalu seorang pria dari jauh berlari kearahku dan menggendongku dipundaknya sambil tersenyum Dia mengatakan kepadaku "Udah bisa tending-tendang anak ayah ya, nanti kita beli bola ya nang!”ujarnya sambil tertawa. Dia lah ayahku. lalu ayah meminta maaf dan membayar uang rugi  penjual tadi. Ya, begitu lah malaikat pelindungku yang ku sebut seorang ayah.

Jika ada yang bertanya padaku pernahkah seorag pria menangis di depanmu?, Aku pasti jawab pernah. Lalu jika ia bertanya lagi siapa pria itu maka dengan lantang akan ku jawab Ayah. Aku melihat, airmatanya saat aku ingin berangkat ke kota Batam untuk  melanjutkan kuliah. Itu pertama kalinya airmatanya menetes di depan ku.

Seminggu  sebelum keberangkatan ku ke kota batam.
"Egiii, sini dulu nang!'' panggil ayah yang saat itu berada di teras rumah.
"Iya, apa yah?''.Aku yang berada di kamar saat itu keluar dan duduk di depannya.
"Kau kuliah di Batam saja ya, nang!'' .
"Kenapa di batam? Di sini memangnya kenapa, yah?”
"Biar kau bisa mandiri, Jangan jadi anak ketek terus sama mama' ayah.”
"Tapi nanti aku gimana disana?” Ragu dan takut sedikit mengganguku.
"Jangan cengeng. Dikit-dikit nangis. Banyak disana saudara kita juga? Nanti ayah minta tolong jagain kau''. Ayah mencoba menbuatku berani walau masih ada keraguanku.
"Siapa yang mau kuliah di batam?” tiba-tiba ada suara dari belakang. Ternyata Mama’.
"Aku ma’ ''  dengan gaya penuh harap agar mama tidak mengizinkan.
"Emang dia bisa disana sendirian?. Bisa disana kemana-mana sendirian?. Di sini saja jarang keluar rumah tahunya cuma sekolah,rumah sama kebun. Sekolahpun dekat rumah''. Eaaak, rasa bahagia seketika menghadirkan bunga-bunga dihatiku saat itu karena mama’ tidak mengizinkan. Pendapat mama’ hapir sama denganku aku tidak bisa sendiri.
"Harus bisa!. sudah besar sudah mau kuliah. Masa’ gak bisa sendiri  harus bisa. Apa gak malu? " Ucap ayah yang menggambarkan ketegasannya.
"Nanti disana dia makannya gimana?.  Nanti dia kuliah gak ada yang dikenalnya gimana?. Nanti di jalan, di kapal  gimana?"  airmata Mama’ mulai  tumpah di depanku. Tentang kekhawatirannya kepada seorang putri yang Ia cintai. Tapi seorang ayah dengan tegas dan meyakinkanku dan ibu semua pasti baik baik saja.
"Dia bisa, Jangan cengeng. Harus mandiri, harus bisa kemana mana sendiri, harus dipaksa sendiri biar terbiasa sendiri. Kalau dia terus di rumah nanti gak ada perkembangan. Nanti terus jadi anak ketek , nempel terus sama mama’nya.”Jawab ayah  yang meyakinkan aku dan mama’ hingga akhirnyan Mama’ luluh, dan mengijinkan aku kuliah di Batam.

Sehari sebelum  keberangkatanku ke kota Batam, Aku duduk di teras rumah yang saat itu tengah turun hujan, membayangkan yang sebentar lagi suara teriakan ibu yang diteriaki ayah dengan suara petir cinta takkan lagi kudengarkan setiap hari. Masakan Mama’ yang kadang aku merasa bosan, akan segera kurindukan. Suara Al-Fatihah dan ayat-ayat suci Al-Qur'an yang biasa ayah bacakan saat sholat berjamaah takkan lagi aku dengarkan, Jailnya seorang adik, kakak, abang, takkan lagi ada lagi menemani hari ku stiap harinya. Hembusan nafas yang serasa berbicara tak ingin pergi dari lingkungan kampung ini, kampung yang dimana aku dibesarkan dengan sejuta kenangan. Tapi tiba-tiba hati kecil ku seolah berbicara dan menguatkanku.

"Di keheningan di saat hujan menyapa sang tumbuhan, ku perhatikan setiap tetes yang turun. Air mata yang jatuh disebuah jiwa yang berusaha tegar akan takdir yang kau beri. Disebuah hati yang mencoba percaya Kau akan berikan yang terbaik. Disaat hati mencoba meyakinkan diri semua pasti baik baik saja. Ketika itu mata  tertuju pada sebuah pesan cinta dari-Mu yang berada di sampingku. Ku buka lembaran-lembarannya sampai benar-benar cintaMu datang menyapa ku, Dan menenangkan segala kegelisahanku. Tidak seorang pun hamba mendekatkan diri kepadaKu dengan sesuatu yang paling Aku cintai, melainkan dengan apa yang telah Aku wajibkan kepadanya. Hamba-Ku adalah orang yang selalu mengerjakan ibadah-ibadah nawafil (amalan -amalan sunnah) sehingga aku mencintainya. Ketika Aku telah mencintainya maka Akulah yang akan menjadi telinga yang dia gunakan untuk mendengar, mata yang digunakan untuk melihat tangan yang dia gunakan untuk memukul, kaki yang dia gunakan untuk berjalan. Jika dia meminta kepada-Ku, pasti akan-Ku berikan, dan jika dia butuh perlindangan-Ku, pasti Aku lindungi (HR.Ibnu sunni) {shahih}
Kini ku yakin, tak ada yang aku takutkan selagi Engkau bersamaku. Selagi Engkau mencintaiku. semua akan mengalir dengan takdir-Mu. Dan Engkau pasti berikan yang terbaik untukku."

Hari itu telah tiba dimana aku akan pergi meniggalkan rumah dan berangkat ke kota batam, pukul 19:25. Teman teman,saudara semua mama adik, kaka, abang, tetangga, telah menunggu bus yang mengantarkanku ke pelabuhan nanti. Tiba saat bus itu datang semua keluarga yang berada di teras memberi salam dan memberikan pesan agar berhati hati-hati dijalan.
Saat itu ada seorang wanita yang menangis dan memelukku dan dia adalah ibu yang membesarkan ku. Pelukannya begitu erat hingga aku rasa tak ingin lepas. Berbeda dari yang lain dia memberi pesan agar aku jangan tinggalkan sholat, jangan makan mie, tapi jika hanya sebulan sekali  boleh, jangan lama-lama tidur, kalau sakit telepon, begitulah pesannya. Ku usap airmatanya lalu menegarkan dirinya dengan memberi senyuman terbaik ku. Aku sengaja tak meneteskan airmata agar tak  membuatnya  khawatir. Tiba-tiba ada suara di belakang ku.
"Kakak, kapan pulang?, Kakak mau tinggal disana ya?. Kakak mau pindah ya?'' ternyata adik ku yang saat itu Masih duduk dikelas 1 SD.
"Gak, kakak cuma mau sekolah. Nanti juga pulang kok," dengan menggendongnya di belakangku. Aku pamit kepada semua kelurga dan meminta doa agar semua berjalan lancar. Ayahpun  memanggilku untuk segera naik bus yang sudah lama menunggu. Ayah mengantarkan ku sampai pelabuhan. di tengah perjalanan raut wajahnya yang biasa saja tak seperti khawatir denganku. Mungkin karena dia seorang laki laki yang keras tidak seperti ibu yang mudah menangis, ayah begitu kuat dan tegas. Melihat ayah seperti itu aku jadi percaya diri dan berani.
Tiba sampai pelabuhan dumai, setiap orang yang ayah temui disana selalu ditanyai oleh Ayah "mau kemana pak/buk? '' jika  ada yang menjawab ke batam ayah pasti langsung meberi pesan,
"Oh ke batam,ini anak saya mau kebatam juga,dia belum perna ke batam jadi ini pertama kalinya dia ke batam,minta tolong jagain ya buk, minta tolong di ingatin jangan ketiduran ya buk!" seperti itulah pesanya. Beliau mencari siapa saja yang bisa menjagaku di atas kapal. Meski orang yang tak kami kenali.
Saat di pelabuhan ternyata ayah tak di ijin kan masuk karena pengantar tidak boleh masuk. Tapi ayah menerobos  ia harus memastikan aku baik-baik saja hingga aku masuk kedalam kapal. Orang orang yang diberi pesan ayah ternyata tidak satu kapal dengan ku, aku semangkin takut.
petugas kapal memanggilku,
"Dek,dek,ayo masuk cepat cepat!”  lalu aku pamit pada ayah  ku cium tanggannya ,ayah pun mengelus kepala ku dan berpesan, 
"Pasti baikbaik saja, jangan cengeng!''
"aku takut, yah.'' jawabku merengek menggenggam kuat tangan ayah.
Seketika airmata ayah menetes di depan ku, Untuk pertama kali dalam hidupnya melepaskan ku sejauh itu sendiri dan untuk pertama kalinyanya ku melihat airmata itu jelas jatuh di pipi ayah, Mungkin ia tak sadar jika ia menangis. Ayah langsung menyuruh ku masuk. aku pun masuk kapal dan kebingungan kursi mana yang harus ke duduki, karena baru pertama kali aku naik kapal. ku cari wajah ayah di luar, tapi aku tak melihatnya. dalam benakku mungkin ayah sudah pulang. Ternyata dugaanku salah, Sewaktu aku sudah sampai batam, Mama’ menelponku dan menceritakan padaku apa yang terjadi pada ayah. Mama’ menceritakan padaku, ayah sampai pingsan menangis dirumah karena terlalu khawatir dengan ku, ayah selalu bilang seperti ini.
"Nanti kalau dia ketiduran gimana? Nanti dia terbawa ke malaysia, nanti kalau ada yang jahatin dia di kapal gimana?, anakku itu polos, gak tahu itu nanti dia, kalau kapalnya kenapa-kenapa gimana? Kata-kata itu yang sering muncul dari mulut Ayah. Ayah juga ternyata masih mencariku dari luar kapal. Ia ingin melambaikan tangannya buatku, tapi ia tak melihatku lagi, karena aku berada dilantai 1 kapal jadi takkan terlihat dari luar.

Itulah pertama kalinya Ayah menangis di depanku. Yang sampai saat ini aku merindukan saat itu, saat dimana aku masih bisa melihat wajahnya. Senyumnya bahkan tangisnya. Tapi sekarang mungin hal itu sudah berbeda. dia sudah jauh disana namun bagiku dia masih bersama ku.

Dan tahun pertama aku pulang kampung ayah masih bersama kami. Tapi saat itu ayah sedang sakit. Aku membawakan  ayah oleh-oleh dari hasil  uang gaji ku, Aku membelikan baju dan alat alat sholat untuknya. Banyak dari anak-anak ayah yang memberikan baju dan alat sholat sepertiku, tapi ayah hanya memakai baju yang ku belikan. Rasa bahagia membuatku meneteskan airmata, dan berdo’a di lebaran tahun depan semua masih bersamaku dan masih tetap disini. tapi sepertinya do'a ku tak sesuai dengan takdir yang tuhan berikan. 

Hal yang paling ku takutkan terjadi padaku, Aku kehilangan malaikat pelindungku saat aku berumur 19 tahun. Hari itu tanggal 3 bulan 12 tahun 2013 pukul 08:45. Saat aku ingin berangkat ke kantor, teman kos-kosan  yang dari kampung yang sama memberi tahu ku, bahwa ayah tak lagi ada.
"Kak,sabar ya, ayah kakak udah gak ada lagi. " ucapnya dengan memelukku. Mendengar kabar itu seperti mimpi buruk, pikiranku kosong, sama sekali tak tahu apa yang harus kulakukan. Aku terdiam. Airmataku terus menetes, aku menangis di pundak mereka yang berada disampingku. Segera aku bergegas dan pergi  membeli tiket pesawat dengan harapan aku masih bisa melihat  ayah terakhir kalinya. Semua teman-teman kampus, teman kerja mengirimkan pesan belasungkawa  padaku yang membuatku semangkin sakit  dan seperti menamparku bahwa ini adalah nyata bukan mimpi.
Diperjalanan ku berdo'a "Ya Allah bangunkan aku dari tidur ini, Mimpi ini begitu sakit, hingga aku takut membuka mataku."  pesan masuk dari handphone ku .ternyataa pesan dari abang kandung ku 
"Masih lama sampainya, dek? Adek mau ditunggu apa gak? ini sudah jam 4."
"Ia tungu aku bang, aku mau lihat ayah. Mau pamit sama ayah." Mohonku pada abang disana.
"Masih dimana dek berapa jam lagi ? balasnya abangku lagi.
"10 jam lagi.” jawabku. Karena memang perjalanan masih sangat jauh.

tak ada balasan lagi. Aku tahu aku takkan mungkin di tunggu, Aku juga tahu ayah harus segera dimakamkan karena tidak akan baik jasad dilama-lamakan pengkuburannya. tapi hati kecilku ingin agar aku di tunggu .

"Maaf ya dek, Ikhlas ya, Ayah sudah dikebumikan. Sabar ya dek.” isi pesan dari abang kandungku. Rasa sakit membaca pesan itu karena aku tak bisa berbuat apa-apa membuatku marah pada diriku sendiri. Ya Allah, jangankan membalas budi karena telah membesarkanku, membalas budi saat dia mengajari ku sholat saja aku tak bisa dengan menyolatkannya, Membalas budi saat aku kecil saat dia memandikanku dengan memandikannya untuk terakhir kali aku tak punya kesempatan, membalas dia saat dimemakaikan baju ku dengan memakaikan kain kafan di tubuhnya aku tak ada kesempatan. Ya Allah aku tahu dibanding rasa cintaku dangan rasa cinta-Mu padanya sungguh tak sebanding. itulah yang mebuat-Mu segera cepat memanggilnya karena cinta-Mu yang begitu besar padanya. Tapi ijinkan aku Ya Allah, ijinkan ayah datang kemimpiku walau hanya sekali saja.

Aku pun akhirnya sampai di rumah jam 02:00 pagi. Melihat janur merah yang berdiri di depan rumah, melihat tenda hijau turut belasungkawa di teras rumah membuatku semangkin sakit tak bisa melihat ayah lagi. Mama’ yang saat itu datang menghampiriku dan memelukku, meminta maaf karena tak menungguku. Aku terus menangis di pangkuan mama’ sampai aku tertidur lelap. Mama’ begitu tegar di depanku, dia menyembunyikan rasa kehilngannya di depan ku. Aku tahu mama’ sejatinya yang lebih sakit. karena seorang yang menjadi tempat curahan hatinya dalam suka, duka, sakit, bahagia. kekasih, sahabat sekaligus patner sejatinya kini tak ada lagi di sampingnya,aku rasa sakit ku mungkin tak seberapa di bandingkan rasa sakitnya,rasa rinduku sekarang mungkin sangat tak sebanding rasa rindunya. Tapi ia terlihat tegar di depanku. Menyembunyikan semuanya agar tak melihat aku menagis lagi.
Sekalipun tak kulihat dia mengucapkan rindu pada ayah di depan kami, namun saat aku berada batam mama pernah menelponku, mengatakan bahwa mama memimpikan ayah, Aku tahu mama tengah menagis menceritakan itu karena dia begitu rindu pada ayah, seorang penjaga dan pemilik hatinya tak mungkin dia tak merindukannya. Tapi mama’ begitu hebat menyembunyikan tangis dalam tawanya.
Mungkin aku tak terlalu dekat dengan mama’ karena sejak kecil, saat aku mulai sekolah, ayah yang mengantarkan ku. Saat ada acara acar resmi dari sekolah ayah yang datang. Tapi jika di tanya aku lebih cinta ayah atau ibu? akan ku jawab mencintai keduanya dan tak ada pembeda.

Kembali kecerita awal tadi saat aku di dalam bus. Dan akhirnya sampai rumah juga. Aku turun dari bus, dan kulihat ada seorang wanita berjalan menghampiriku, Dia adalah mama’ku dan seoarang pria di sudut sana sedang tersenyum menatap ,dia adalah ayahku, mungkin takkan ada yang melihatnya, tapi aku merasakan keberadaannya. bedanya mungkin dulu dia orang pertama menghampiriku lalu setelah itu mama’,sekarang hanya ada mama yang menghampiriku. tak mengurangi kebahagianku sedikit pun karena sudah berada dalam pelukan mama.


Ayah apa kabar kau disana?.
Kabar yang biasa tak perlu kutanyakan lagi padamu,
Ayah bagaimana engkau disana?.
Apakah kau menderita karena dosaku?
Atau mungkin kau bahagia karena do'a dan amalanku?
Ayah, hanya 19 tahun kau bersama ku
19 tahun yang luar biasa untukku
19 tahun yang penuh dengan ceritamu dan ceritaku
Ayah mungkin impianku gagal saat kepergianmu
Impian yang ingin membahagiakan mu
Impianku yang saat itu adalah impianmu
Ayah mungkin aku tak bisa menggantikan posisimu
Menggantikan posisimu didepan mama’
Aku tak bisa menghibur mama sejago dirimu
Ayah mungkin takkan pernah ada
Takkan ada yang menggatikanmu disini.
Ayah kau tahu kami sangat mridukanmu.
Merindukan tawa, canda dan nasehatmu yang luar biasa,
Kau sering mengatakan padaku.
jangan makan mie, jangan begadang,
Tak segan jika aku makan kau akan membuang mie itu.
kau tahu ayah, sekarang aku makan mie setiap hari
dan berharap kau datang di hadapan ku
lalu membuang mie itu.
Ayah selamat jalan 
Terima kasih untuk semua yang kau korbankan.
Terimakasi untuk cinta yang kau berikan.
Terima kasih untuk peluh yang kau teteskan.
Terima kasih karena sudah bersamaku selama 19 tahun ini
Terima kasih ayah
Telah jadi pria terhebat yang pernah kutemui,
Terima kasih ayah

Tak terlihat bukan berarti tak ada, dan penyesal itu selalu diakhir cerita bukan di awal cerita. Jika dia di awal maka itu bukan penyesalan tapi planning. Jika mereka (orang tua) sekarang masih bersamamu, cintailah dan jaga karena kau takan tahu kapan waktu itu berhenti kepada mereka dan menyuruh mereka kembali.  Memang skenario yang kita tulis tak sesuai dengan apa yang Sutradara inginkan tapi kau bisa lakukan yang terbaik dalam cerita kehidupan ini .


Bendahara LDK UNRIKA (2014-2015)
Comments
0 Comments

0 komentar :

Posting Komentar

Kalam

Kalam
Edisi 28 April 2016

join us

join us
klik

FSLDK INDONESIA

FSLDK INDONESIA
Klik gambar